06 November 2018

Part 2

Hari perkiraan lahir saya tanggal 2 Oktober.

Mendekati masa lahiran,
ketakutan dan proyeksi saya tentang rasa sakit pada proses lahiran,
sama sekali sirna.
Saya sendiri bingung karena tidak merasa takut,
Saya justru semangat dan penasaran,
akan seperti apa rasanya melahirkan.

Saya mulai merasa ada perubahan di tubuh saya pada minggu ke 37,
Seperti agak tertekan ke bagian bawah dan agak ngilu.
kata Bidan, janin saya sudah turun panggul, dan sudah terkunci di jalan lahir,
tinggal tunggu waktu lahirnya saja.

Mendekati hari perkiraan lahir,
Orang tua saya terutama mama, terlihat khawatir.
Hampir setiap hari menanyakan, "Udah ada tanda-tanda mau lahiran?"
Saya menjawab dengan santai, "Belum, tenang aja."
Saya tahu, hari perkiraan lahir tidak selalu tepat.
Dan saya percaya bayi saya mempunyai waktu yang tepat untuk keluar melihat dunia.

27 September
Saya mulai merasakan kontraksi dan keluar flek darah.
Orang tua saya khawatir dan menyuruh saya untuk segera ke rumah sakit,
tapi berbekal pengetahuan dari @bidankita,
saya tenang, karena mengetahui flek adalah hal yang wajar ketika mendekati proses lahiran,
sehingga tidak perlu terburu-buru ke rumah sakit.

28 September
jadwal kontrol saya ke Bidan.
Kondisi janin di cek dan masih bagus.
Ibu bidan bilang, "Duh, saya gemes kenapa gak keluar-keluar, padahal udah tinggal keluar aja loh ini anaknya, udah masuk panggul n udah kekunci"
Saya senyum, saya tahu janin saya punya waktunya sendiri.

1 Oktober
Saya merasa kontraksi semakin intens.
Saya mengecek dengan aplikasi "Kontraksi Nyaman"
Mulai dari subuh hingga tengah malam,
saya merasa kontraksi berdurasi sekitar 45 detik sampai 1 menit,
dengan selang waktu 7 sampai 10 menit sekali.
Tapi rasanya masih belum teratur dan masih bisa saya tahan.

2 Oktober
Pukul 09.00, jadwal kontrol saya ke Bidan lagi karena bertepatan dengan HPL,
Kali ini saya dibawa ke ruang bersalin,
di CTG (untuk mengontrol denyut jantung janin) dan cek dalam.
Kata suster sekaligus bidan di ruang bersalin itu, saya sudah pembukaan 2.
Saya diminta untuk masuk rumah sakit karena hasil CTG dikatakan kurang memuaskan.
Saya dan suami ngotot untuk pulang, karena hasil CTG sejauh yang kami lihat masih oke,
dan pembukaan pun masih kecil.
Akhirnya saya menandatangani surat penolakan rawat inap dari RS.

Sepulang dari RS, saya merasa kontraksi semakin sering dan gerakan janin saya semakin aktif.
Dalam hati, saya merasa waktunya sudah dekat untuk berjumpa dengan bayi saya.

Malam hari pukul 21.00, saat suami saya pulang kerja,
saya mengajak ke RS untuk mengecek sudah pembukaan berapa.
Saat itu, kontraksi saya rata-rata berdurasi 45 detik - 1 menit,
dengan selang waktu 4 sampai 6 menit sekali.
Tetapi saat di cek, ternyata masih pembukaan 3.
Lagi-lagi suster menyarankan agar saya tinggal di RS.
Saya mulai galau, karena saya merasa waktunya sudah dekat, dan akan merepotkan jika bulak balik dari rumah ke RS, tapi saya juga merasa tidak mau masuk RS kalau bukaan masih 3.
Saya selalu mengafirmasi diri saya sendiri, saya masuk RS kalau sudah bukaan 5 atau 6.
Saya merasa suster pun agak memainkan emosi saya, dengan bilang "Ibu jangan egois, mendingan nginep aja disini, daripada bayinya kenapa-kenapa." Huft. Saya galau.
Untung suami saya konsisten.
Suami saya tegas pada pendirian kami di awal (tidak mau masuk RS kalau pembukaan masih kecil). Dia mengajak saya pulang, dan bersedia mengantar saya kembali ke RS, kalau tengah malam semakin sakit.
Saya setuju, akhirnya kami pulang.
Dan saya menandatangani surat penolakan rawat inap dari RS ((LAGI)).

Sesampainya di rumah, saya tidak bisa tidur.
Kontraksi datang semakin sering.
Kira-kira durasi 1 menit dengan selang waktu 2 sampai 4 menit sekali.
Saya mengajak suami ke RS lagi pukul 2 pagi.

Pukul setengah 3 saya sampai di RS, dan di cek oleh bidan sudah bukaan 5.
Saya pikir, pukul 8 saya akan sudah lahiran.
Saya menghabiskan waktu dari pukul 3 ke pukul 8 dengan tiduran.
Saat kontraksi datang saya bangun, tetapi pada selang interval, saya tidur karena mengantuk.
Tapi saya salah,
dengan tidur, kontraksi saya malah semakin melambat.
Intervalnya semakin lama / jarang.

Pukul 08.00 saya di cek lagi oleh bidan, dan ternyata baru pembukaan 6.
Ibu Bidan bilang, kalau pukul 12.00 nanti di cek kontraksinya masih kurang bagus,
saya akan di alihkan menjadi pasien dokter.

Kira-kira pukul 10.30, suami saya mengajak saya untuk bergerak,
tidak hanya tiduran.
Saya akhirnya bermain birthing ball, dengan suami yang membantu memantau kontraksi saya lewat aplikasi Kontraksi Nyaman.
Kontraksi saya maju begitu cepat saat saya bermain birthing ball.
Dalam 1 jam, kontraksi saya sudah maju dari 4 menit sekali menjadi 2 menit sekali dengan durasi kontraksi selama 1 menit.

Pukul 11.30, saya buru-buru memanggil bidan untuk kembali di cek dalam.
Ternyata sudah bukaan 8,
dan pada saat itu, entah sengaja atau tidak, ketuban saya pecah.

Selebihnya yang saya ingat,
saya diminta untuk menghadap ke kiri dan menahan untuk tidak mengejan karena pembukaannya belum lengkap.
Saya tahu, kalau pembukaan belum lengkap tetapi saya mengejan, akan berakibat fatal karena jalan lahir saya akan bengkak, dan bayi saya malah tidak bisa keluar.
Pikiran saya seketika kacau karena saya merasa janin saya mendorong tubuhnya sendiri untuk keluar, tetapi saya harus menahannya karena pembukaan belum lengkap.

Saat itu saya bilang kepada suami saya kalau saya tidak kuat untuk menahan tidak mengejan.
Saya pun minta ke suster untuk segera di suntik atau di bantu agar pembukaan lengkap dan saya bisa mengejan.
Tetapi suami dan suster / bidan yang menemani saya saat itu menyemangati saya dan mengatakan kalau saya pasti mampu melewatinya.

Tidak berapa lama, ada bidan lain yang masuk ke ruang bersalin dan mengecek.
Ternyata sudah bukaan lengkap.
Para suster dan bidan langsung menyiapkan peralatan untuk lahiran,
dan saya dipersilahkan untuk mengejan.

Tidak ada aba-aba dari bidan,
saya mengikuti ritme tubuh saya sendiri,
Dengan beberapa kali mengejan, lahirlah bayi saya,
yang kami beri nama Adia Prisha Odel.
Adia Prisha artinya hadiah penuh cinta pemberian Tuhan.
Odel merupakan singkatan nama Okta dan angel.

Lega teramat sangat!
Kami (Saya, suami, dan buah hati kami) berhasil melewati proses persalinan ini dengan kerjasama yang indah.

Saya belajar,
untuk melewati proses persalinan yang bebas trauma,
butuh kedisiplinan dan keinginan kuat.
Butuh dukungan dari orang terdekat.
Butuh persiapan mental, fisik, dan spriritual.

Persiapan mental,
Dengan banyak membaca dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi mengenai proses kelahiran,
agar pada akhirnya mengerti segala resiko, keuntungan dan kekurangan atas tindakan yang akan di ambil saat melahirkan.

Persiapan fisik,
Dengan tetap aktif bergerak, berolahraga, melatih pernafasan perut, dan memberdayakan diri.

Persiapan spiritual,
Dengan banyak melakukan afirmasi positif kepada diri sendiri,
mempercayai tubuh yang sempurna yang telah Tuhan angerahkan,
mempercayai bahwa janin saya adalah janin yang jenius dan bisa di ajak berkomunikasi.

Bagi saya,
Proses persalinan adalah proses berdamai dengan diri sendiri dan mengalahkan rasa ego.
Proses kerja sama yang indah antara ayah, ibu dan buah hati kami.
serta proses untuk berteman dengan rasa sakit.
(Karena rasa "sakit" dalam proses persalinan merupakan pertanda baik,
bahwa sudah semakin dekat waktunya untuk bertemu dengan kesayangan)

0 comments: