23 April 2013

....

Saya hanya setitik kecil yang belagu dan sombong.
Saya pikir bisa menggenggam keabadian dengan kebanggaan.
Padahal yang abadi itu bisa hilang hanya dalam sekejap.

Saya kelimbungan,
kehilangan arah dan pegangan.

Harus apa?
Harus apa?
Saya tak dapat menjawabnya.

Menyedihkan,
hati saya ternyata sudah tak bisa lagi dipercaya.
Tampaknya ia sudah kehilangan panca inderanya.
Karena telah dibutakan dan ditulikan berkali-kali.

Terlalu banyak, memang menyakitkan.

Saya mencoba menelusuri jalan setapak,
dengan tubuh lunglai.
Sedikit demi sedikit.
Membawa saya ke arah yang berlawanan.

Kenangan itu mencengkram erat.
Membuat bulir-bulir airmata terus jatuh,
meski saya terus berkata pada diri sendiri.
"Jangan cengeng! Kamu harus kuat, sayang"

.........
...........

Tuhan, saya menyerah.

Maaf untuk segala kesombongan dan keegoisan
yang saya paksakan terus menerus.

Ajar saya untuk pasrah.
Buatlah saya kuat,
Saya ingin ikut saja kehendakMu.

08 April 2013

Ini masalah hati.

Ini masalah hati.

Ia memberanikan diri datang kesana untuk sekian kalinya.
Berharap hatinya akan baik-baik saja.

Tapi ternyata dua sanggup mengacaukan hidupnya seketika.

Pertahanannya tak cukup kuat.
Meski sudah dibangun dengan seribu kata-kata yang menguatkan
dan perasaan yang terus saja dibesar-besarkan.

Hari itu ia pasrah.
toh ketakutan memang harus dihadapi.

Mereka tidak ahli,
yang satu itu kini begitu menyakitkan,
lalu harus jadi dua.
Ia meronta dalam hati.
Kenapa harus dua?
Ingin diberhentikannya semua yang membuatnya hampir gila ini.
Tapi semua terlanjur berjalan dengan arus yang tak dapat dihentikan.

Ini masalah hati.

Lalu ia jadi benci.
Benci sebenci bencinya.
Bukan pada mereka.
Bukan pada keadaan.

Seperti biasa,
Ia benci dirinya.

Sebagian merasa terlalu lemah.
Sebagian lagi merasa terlalu arogan.
begitu memaksakan ketidakmampuan.

Ini masalah hati.

Ia buru-buru menghindari keramaian.
Tanpa peduli lagi apa yang terjadi di sekitar.
Hingga tiba ditempat yang benar-benar sendiri.

Sepi,
tangisnya pecah.
Entah menangisi kebodohan, ketegaran atau kelemahannya.
Ia pun tak mengerti.

Yang ia tahu,
dua,
dan nyeri.

Bodoh.

Perih.

Lalu kamu datang,

Kamu memang selalu mampu meredam tangis.
Menghapus luka mengganti dengan senyum.

Senyum meski pipinya masih basah dengan tangis.

Ini masalah hati.

01 April 2013

Keberanian

Keyakinannya tergerus.
Batu raksasa itu kini benar-benar nampak di matanya.
Kotor dan menjijikan.

Batu itu sudah lama ada disana..
dan banyak orang sudah memperingatkan.
Tapi dia begitu mencintai jalan di balik batu.

Sejak beberapa tahun yang lalu,
jalan di balik batu adalah tujuannya.

Ia tidak buta.
Batu yang besar itu memang ada di sana.
Tapi masih bisa dilewati, pikirnya.
Masa harus menyerah dengan rintangan yang hanya berbentuk benda mati?

Ia mulai berkompromi.
Kotoran yang menjijikan itu tak dipedulikannya.
Ia mulai berjalan perlahan dan mendorong batu untuk menjauh.
Padahal budaya keluarganya sangat resik.

Lama, batu tetap tidak bisa menjauh.

Kalau tidak menjauh,
Ia berpikir kotoran yang ada di batu setidaknya akan pudar jika tergerus jalanan.

Sayang.
Malah kotornya batu mengotori dirinya.
Kotor hingga dia sendiri jijik dengan dirinya.
Kemudian tangannya terluka.
Disusul kakinya yang membuatnya tak lagi bisa berjalan.

Ia menangis.

Tak seorangpun peduli.

Sendiri dan terluka.

Berjuang dengan segala perasaannya, impian dan cita-citanya.
Ia tak bisa lagi meneruskan perjalanannya.

Di depannya nampak batu yang semakin besar.
Seiring kata menyerah dan keputusasaan yang sudah memuncak.

Ia berbalik dengan mantap.
Meninggalkan jalan yang selama ini dipaksakannya.
Kali ini tekadnya sudah bulat.

Ia bersihkan dirinya.
Tinggalkan jalan dan batu itu.

Untuk apa memaksakan suatu jalan yang selalu membawa duka?