19 February 2011

shut up!

Diam bukan tak tahu.
Diam bukan tak peduli.
Toh lebih baik diam daripada asal.
Asal komentar "bodoh" "tolol" "bego",
yang menunjukkan ketololannya sendiri.
Lebih baik diam jika tak terlalu mengerti.
Daripada berkomentar, tapi bodoh.

10 February 2011

Akhir-akhir ini, kebanggaan saya runtuh,
kepercayaan saya diuji.
Semoga saya masih bisa tetap percaya
dan bangga bertanah air Indonesia.


firasat

Segalanya mungkin hampir sampai pada titik perhentian.
dan saya mulai meyakini tentang segala hal berkaitan dengan perpisahan.

Mungkin hal itu bisa jadi sangat menyakitkan,
atau barangkali saya juga harus tabah,
karena semua milik adalah pinjaman.

Aneh.
Terasa berbeda.
Semakin dekat sepertinya.
Semoga salah.

Tidak.

Terserah yang Kuasa.

01 February 2011

Shaolin

Saya merasa ditampar habis-habisan! Bagaimana bisa, semua sisi kehidupan saya dipaparkan dalam sebuah film berdurasi 131 menit. Secara bersamaan segi keTuhanan, kebangsaan, dan kemanusiaan saya dicabik-cabik. Dada saya sesak, tapi kali ini bukan karena melihat adegan pembunuhan yang sadis, tetapi karena perasaan saya dipermainkan oleh cerita film ini.

Entah mengapa, sekilas terlintas di pikiran, bahwa latar tempat cerita "Shaolin" itu di Indonesia, negara saya tercinta. Lalu saya merasa sangat sedih dengan banyak sekali kemiripan ceritanya. Baru saja saya mengagumi tokoh yang mempertahankan milik negerinya dengan tak bekerja sama dengan pihak asing yang hanya mencari keuntungan sepihak. Saya sudah dibuat pilu dengan kudeta dan pengkhianatan. Betapa keserakahan seseorang membabi buta, hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri dan menyengsarakan begitu banyak manusia tak berdosa. Peluru jadi andalannya. Bicara berarti mati. Bungkam tak lagi jadi pilihan, tetapi keharusan, malah semuanya dibuat hingga tak lagi bisa bicara. Mati. Selesai. Miris. Hati saya terasa nyeri. Betapa kekuasaan bisa membunuh, betapa kekayaan bisa membutakan hati.

Saya masih tak bergeming, ketika pesan lain masuk dalam penglihatan dan otak kepala saya yang sempit. Hey! Saya si manusia penuduh itu, yang seringkali tak menerima dan menghakimi sesama karena perbuatannya yang buruk. Siapa saya? Orang yang tak berdosa kah?Orang suci kah? Toh, Bapa yang Maha Suci saja menerima semua orang, mengapa saya yang kotor jadi menghakimi? Bahwa saya sama-sama pendosa, itu tak bisa disangkal. Lalu mengapa masih juga menolak sesama karena perbuatannya yang buruk? Padahal lewat setiap manusia ada perwujudan Tuhan di bumi, dan saya hanya belum cukup akal untuk mengerti bahwa semua akan indah pada waktunya.

Tuduh-menuduh sudah jadi kebiasaan yang mendarah daging. Saya gelap mata dan tak bisa menahan diri untuk tidak mempersalahkan orang lain. Saya yang begitu suci kah hingga menganggap dosa seseorang sangat berat hingga ia tak pantas masuk surga? Kalau memang dia tak pantas, justru karena itulah Allah mengutus puteranya untuk menyelamatkan. Karena sesungguhnya saya, kamu, Anda, kita, mereka, tak ada yang lebih suci dan tak berdosa. Tak ada yang pantas masuk surga. Akhirnya saya hanya mampu menasihati diri sendiri, berhentilah menyalahkan seorang pendosa. Bencilah dosanya, tapi jangan pernah benci orangnya.

Tak cukup sampai disitu. Tamparan lebih keras dilayangkan ketika saya disadarkan bahwa apa yang saya miliki adalah lebih dari cukup. Manusia tak pernah puas. Terkadang keinginan akan kekuasaan dan kekayaan itu datang menggoda dan jujur saya tergiur. Tetapi nyatanya semua itu tak dapat membawa kebahagiaan. Saya rasa contoh di film shaolin sangat jelas. Saya lebih akan merasa menyesal dan merasa bersalah, ketika saya kehilangan cinta dalam hidup saya. Cinta tulus yang tak ternilai dan tak dapat ditukarkan dengan apapun.

Sampai disini saya terharu. Begitu banyak orang-orang baik disekeliling saya, yang dengan rela bersusah payah berjuang untuk saya, tetapi seringkali saya tak saya hargai dan saya anggap sebagai sesuatu yang wajar.

Ayah saya yang selalu merelakan dirinya menjadi hitam legam di terik matahari untuk membiayai segala keperluan saya, mulai dari kuliah, baju, makan, bahkan jajanan-jajanan yang sebenarnya tak begitu penting.
Ibu saya yang selalu rela bangun di pagi hari untuk masak dan membekali anak-anaknya hingga tak kelaparan di tengah hari, seseorang yang sangat mendukung keluarga dengan doa-doanya dan mengajarkan untuk tetap setia pada iman saya, walau apapun yang terjadi.
Teman spesial saya yang selalu rela menemani saya setiap hari, selalu rela direpotkan dengan ocehan-ocehan saya yang terkadang tak mau berhenti. Seseorang yang selalu memastikan saya tiba di rumah dengan tak kurang sesuatu apapun, walau dirinya sudah teramat lelah.
Adik-adik saya yang selalu memberikan keceriaan untuk saya. Jujur untuk kali ini, saya merasa sangat menyesal bahwa di masa lampau, saya pernah melakukan sesuatu yang begitu melukai dan menimbulkan luka batin yang tak hilang sampai sekarang.
Semua teman dan saudara yang selalu mendukung apa yang saya lakukan dan memberikan semangat agar saya tetap berkarya.

Saya bersyukur untuk semuanya. Semua hal-hal baik dan buruk serta untuk semua orang yang pernah mampir dalam kehidupan saya. Cinta mereka adalah pemberian yang tak ternilai. Cinta mereka adalah anugerah. Yang bodohnya lebih banyak saya sia-siakan dan saya anggap angin lalu.

Semua isi tulisan ini akhirnya bernada emosional karena saya ingin segera memuntahkan segala hal dalam pikiran saya. Maaf karena bahkan tulisan initelah melebar tak tahu juntrungannya. Saya ingin menutupnya dengan nasihat untuk diri sendiri. Jalani hidup sebaik-baiknya, jangan lagi mengeluh, semua yang saya miliki adalah lebih dari cukup, dan saatnya berbagi. Tak ada orang jahat dan orang menyebalkan, yang ada hanya, kekurangmampuan saya untuk menyamakan frekuensi dengan orang-orang tersebut, sehingga mereka terkesan jahat dan menyebalkan. Saya percaya bahwa semua orang baik, dan saya mau tetap percaya itu. Mulailah berjuang untuk negeri ini, dimulai dari hal kecil, tetapi lakukan dengan tekun. Pasti tak ada yang sia-sia.