15 January 2018

Cepet-cepet-cepet

Beberapa hari yang lalu, saya sempat menulis status di Facebook saya :

"Betapa harapan "semoga bisa selalu bersyukur dan bahagia selamanya" lebih enak diterima dibanding ucapan cepet dapet jodoh, cepet dapet calon suami/istri, cepet nikah, cepet dapet momongan dan cepet-cepet-cepet yang lainnya yg belum tentu dipengenin sama penerima harapannya. Lagian gak usah cepet-cepet-cepet lah, yang penting ngejalaninnya bisa sambil bersyukur n bahagia aja udah lebih dari cukup. Percaya kan semua indah pada waktunya?"

Saya merasa heran, mengapa sebagian besar orang melihat sebuah kesendirian itu sebagai sesuatu yang aneh, sehingga harus selalu di doakan "semoga cepet dapet jodoh".
Ya, kalau memang yang di doakan ingin cepat dapat jodoh, doanya sangat baik diterima.
Tapi kalau yang didoakan sebenarnya lebih ingin sendiri, kenapa harus orang lain yang repot? 
Itu kan pilihan hidup.
Biasanya kalimat harapan tersebut ada buntutnya, "Gak usah terlalu pemilih lah", "Kamu harus lebih macho / feminim sedikit donk", dan nasihat-nasihat lainnya, yang biasa diucapkan dengan sangat seru oleh orang lain. Yang biasanya bikin yang denger jadi pengen cepet-cepet kabur.

Hampir sama ketika ada pasangan yang sudah berpacaran lama, tapi belum menikah, biasanya akan bermunculan pertanyaan "Kapan nikah?", "Semoga cepet nikah ya.." Dsb.
Kalau denger pertanyaan seperti itu, rasa-rasanya saya ingin balik tanya, 
kenapa harus cepet-cepet kalau belum siap?
Bagi saya, memasuki masa pernikahan harus dipikirkan dengan matang,
karena ketika sudah melangkah, tidak ada jalan untuk kembali.
Kita harus bersama dengan orang yang sama seumur hidup dan setia pada komitmen yang dibuat.

Kalau pada masa-masa bahagia, tentu saja semua terlihat mudah dan menyenangkan.
Tapi pada saat-saat kritis, biasanya keputusan yang diambil karena tidak dipikirkan dengan matang,
berbuntut pada ketidaksetiaan kita pada konsekuensi dari keputusan itu.
Kita mudah berpikir untuk lari dari segala tanggung jawab,
berharap waktu dapat diulang, 
dan mencari jalan keluar yang paling gampang, yaitu kabur.

Kalau sudah seperti ini, 
apa orang yang bilang "cepet-cepet-cepet" itu akan datang memberi bantuan?

Hal yang lain berlaku pada ucapan "cepet dapet momongan ya..", "kapan nih punya ade lagi?", semoga cepet-cepet-cepet dan kapan-kapan-kapan lain yang gak ada habisnya.

Mengutip kalimat teman saya, Mariska Vergina, beliau menulis begini, 
"Saya kira kecepatan masing-masing orang dalam mencapai tahap tersebut tidak serta-merta berbanding lurus dengan kebahagiaan seseorang."

Saya sangat setuju.

Yang penting bagi saya bukan cepat / lambatnya sesuatu,
Tetapi bagaimana saya bisa selalu bersyukur,
dan bisa menjalani setiap tahap dengan bahagia.

Dunia memang penuh dengan orang yang suka menghakimi,
orang-orang yang menganggap cara hidupnya paling tepat.
Mereka pikir, cara hidupnya pasti sesuai dengan kita,
tanpa melihat latar belakang dan kondisi kita.

Untuk orang-orang seperti ini,
yang kita butuhkan hanya sebanyak-banyaknya stok senyum dan stok kata "iya"
Biarkan mereka juga merasa sedikit bahagia karena sudah merasa bisa menasihati,
memberikan solusi dan saran yang sebenarnya tidak kita butuhkan dan pasti juga tidak kita minta. :)

14 January 2018

Konsekuensi

Seorang sahabat mengatakan pada saya.
"Gua seneng cerita sama lu. Gua seneng punya temen kaya lu. Lu gak pernah nge-judge, Lu gak mencampuri urusan gua. Kalo lu gak setuju, lu bilang, tapi toh kalo pada akhirnya gua gak ngelakuin yang lu bilang, lu support gua... "

Saya buru-buru mengkoreksi, "Emm.. gak sih, aku gak support kalo emang aku gak setuju..."

Dia melanjutkan, "Iya, bukan yang support kayak mendukung gitu loh, tapi kamu itu menghargai. Menghargai keputusan yang pada akhirnya aku ambil."

Saya mengangguk kecil dan meneguk es teh manis di warteg sore itu.

-------

Berbicara tentang menghargai,
Saya merasa, yang paling tahu tentang diri sahabat saya
adalah sahabat saya sendiri, bukan saya, bukan orang lain.

Maka ketika sahabat saya akan mengambil keputusan,
Saya biasanya hanya mengajak berpikir.
Mencari penyebab yang "sebenar-benarnya" bukan hanya yang "terasa / terlihat",
Lalu mengemukakan konsekuensi logis (biasanya yang paling buruk dari semua konsekuensi yang ada) yang saya pikir akan terjadi akibat tindakannya itu.

Tujuannya bukan mau menakut-nakuti,
tapi saya tidak mau orang-orang terdekat saya jadi banci,
yang mau mengambil keputusan / tindakan,
tapi pada akhirnya lari / tidak kuat ketika menanggung konsekuensinya.

Silahkan tanya ke beberapa orang dekat saya,
bahwa saya tidak cukup ahli untuk berpura-pura baik,
atau kalau boleh dibilang,
saya memang tidak mau mengekang lidah saya untuk hanya mengeluarkan kalimat yang baik-baik saja.

Kalau menurut saya tidak baik, ya tidak baik.
Kalau saya tidak suka, ya tidak suka.

Seringkali teman saya tersentak,
karena saya berbicara cukup "to the point" tanpa basa basi ke akar masalah.
Menurut beberapa teman, omongan-omongan "nyelekit" saya terngiang-ngiang,
karena biasanya memang benar.

Pada akhirnya,
ketika sampai pada tahap orang-orang dekat saya mengambil keputusan untuk dirinya sendiri,
saya yakin dengan sangat,
keputusan itu pun diambil berdasarkan pengalaman dan perasaannya selama ini,
yang mungkin juga tak pernah saya rasakan.

Kalau mereka yakin keputusan yang akan diambil dapat menyelesaikan masalah "yang sebenarnya",
dan siap dengan segala konsekuensinya, ya silahkan lakukan.
Sebagai pihak luar, saya hanya bisa memberikan saran.
Apa hak saya untuk melarang atau mencampuri urusannya?

Menurut saya, segala keputusan yang diambil,
harusnya memang datang dari kesadaran dalam diri sendiri,
bukan karena saya, atau paksaan orang lain.
Agar keputusan itu dapat setia dijalani dengan baik berikut semua konsekuensinya.
Selama-lamanya.

-----

Oh ya,
Tentang sahabat yang saya ceritakan di awal,
Saya juga sangat bersyukur bisa bertemu beliau.

Di antara banyak orang munafik,
yang sibuk menutupi kelemahan dan lukanya,
Dia datang membawa kejujuran.

Jauh dari kata munafik,
sangat apa adanya.

10 January 2018

Terharu (: