09 September 2016

Tentang Pernikahan

"Akhirnya..."
"Finally..."
Begitu sebagian besar teman berkomentar ketika tahu saya siap melangkah ke dalam pernikahan.

Reaksi yang wajar,
mengingat masa pacaran saya sekitar 11 tahun.

Seandainya kalian teman-teman dekat saya,
tentu tahu, kalau saya orang yang sangat ketat dengan target.
Saya jarang membiarkan diri saya mengalir apa adanya,
tanpa menargetkan sesuatu.

Tapi agak berbeda mengenai pernikahan yang tak pernah saya pusingkan.
Saya tak pernah punya mimpi untuk menikah di usia muda.
yang penting bagi saya adalah menjadi orang yang bisa membahagiakan ayah dan ibu.
Maka, ketika ajakan menikah secara sepintas sudah diutarakan dari tahun-tahun lalu,
saya sering memundur-mundurkannya.
"Dua tahun lagi..", "Dua tahun lagi.." dan terus "Dua tahun lagi.." :p

Bukan apa-apa, bagi saya ketika itu, perjalanan menuju ke pernikahan masih sangat jauh.
Saya masih bekerja kantoran dan saya tak mau menikah jika masih bekerja kantoran.

Saya pernah berjanji pada diri sendiri,
ingin menikah hanya jika saya sudah memiliki pekerjaan yang tidak terikat waktu dan tempat.
Janji itu saya utarakan terutama ketika melihat teman-teman saya yang bekerja kantoran,
harus mengorbankan hatinya, meninggalkan anaknya demi mencari uang.
Belum lagi ketika anaknya sakit, tapi di kantor pun sedang ada pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.
Dalam hati, saya bertekad, saya tak mau seperti itu.
Saya ingin, anak saya nantinya mendapatkan dampingan eksklusif dari saya pada tahun-tahun emasnya.
Tentang impian ini, setiap wanita pasti punya impian dan pendapatnya masing-masing.
Tapi bagi saya, masa-masa bekerja kantoran, adalah masa dimana saya merasa menuju pernikahan adalah sebuah jalan yang panjang.

Di sisi lain, tanpa pernikahan, saya sudah merasa kalau saya orang yang beruntung,
diijinkan punya keluarga yang erat hubungannya satu sama lain,
punya kekasih yang selalu mendukung dan memotivasi saya,
serta dikelilingi teman-teman yang super baik.
Saya tak pernah merasa ada yang kurang.

Maka, jika saya ada di dalam hubungan khusus dengan pasangan saya,
Saya sungguh ingin membiarkan hubungan itu bertumbuh secara alami,
tanpa perlu saya paksa-paksa untuk dibawa kesana kemari.

Waktu berjalan dengan cepat,
Mengubah hidup saya dengan kilat di tahun-tahun belakangan.
Kalimat "Dua tahun lagi.." pun sudah jadi sungguhan "Dua tahun lagi",
semenjak dua tahun lalu saya meninggalkan kehidupan kantoran.
Mulai ada kalimat, "Satu tahun lagi..", kemudian "tahun ini"
dan pada akhirnya, disinilah kami sekarang, menjelang beberapa bulan pernikahan kami.

Pernikahan sederhana yang sudah sering kami bicarakan dari tahun-tahun lalu.
Saya ingat masa saya SMA dan merayakan ulang tahun ke tujuh belas,
saya memilih untuk merayakannya dengan sederhana, mendesain sendiri kartu undangannya,
memakai gaun buatan oma dan dipayet oleh mama,
kemudian dibantu oleh teman saya yang menjadi MC,
acara tersebut menjadi tak terlupakan.
Apalagi pada akhirnya saya dapat membayar seluruh total biaya yang dikeluarkan untuk pesta tersebut dengan uang saya pribadi.
Kebanggaan dan kebahagiaan yang tak terkira bagi saya yang masih umur tujuh belas tahun dengan pendapatan hanya dari uang jajan yang tak besar.

Maka, balik ke pernikahan saya dan pasangan.
Kami pun dari dulu sudah bertekad untuk mengadakan pernikahan yang sederhana,
dengan semua orang-orang keren yang kami kenal berkolaborasi di dalam pesta tersebut,
dan pada akhirnya membayar semua total biaya dengan tabungan kami sendiri,
tanpa sepeserpun menggunakan uang orang tua kami.

Awalnya saya takut, orang tua kami tak setuju,
karena kami sama-sama anak pertama.
Tapi lagi-lagi saya amat bersyukur,
ada di tengah keluarga yang sangat terbuka.
Orang tua saya mengijinkan saya dan pasangan untuk menjalankan rencana kami,
tanpa memaksakan kehendak.

Terkadang saya beberapa kali ingin menangis,
karena dalam apapun yang saya lakukan,
semua jalan dimudahkan,
banyak kebetulan-kebetulan dengan waktu yang sungguh tepat.
Otak saya tak lagi paham dan bisa menjelaskan apa-apa,
selain bilang kalau semua jalan yang dimudahkan ini adalah campur tangan Tuhan, anugerah.

Pernikahan kami, ingin menjadi bukti, kalau yang indah tak selalu harus megah.

Mementingkan apa yang menjadi esensi,
tanpa perlu memusingkan tetek bengek yang berbau simbolis.
Melepaskan paradigma yang selama ini menancap,
tak perduli dengan kata-kata buruk dan asumsi yang menjatuhkan,
karena hidup memang tak pernah lepas dari kritik.

Sungguh menjalani saja apa yang benar-benar penting,
melupakan yang hanya basa-basi,
kembali kepada yang murni.

Kemudian kami jadi bahagia,
bahagia yang tak butuh pengakuan,
bahagia yang murni.

Maka kami bertekad untuk tetap sederhana,
sesederhana cinta kami,
meski godaan untuk menjadi yang gemerlap selalu ada :)