30 September 2013

Dear My BEST Oya :)

Akhirnya hari ini datang jua dan kita tiba di ujung pertemuan.
Ini mungkin akan jadi pengalaman menyedihkan,
dimana setelah ini aku kehilangan teman terbaik,
dalam tim terbaik yang pernah aku punya.

*****

Kita ada di ruangan yang sama, sepuluh bulan yang lalu,
melamar untuk jabatan yang sama,
melewati proses yang sama,
dan akhirnya sama-sama diterima.
Sejak saat itu, hampir setiap hari kita bertemu.

Dengan banyaknya tugas dan masalah,
pertemanan kita semakin terjalin erat,
seerat tim solid yang akhirnya terbentuk ditengah-tengah kita.

Kita bisa menerima dan memahami kelemahan masing-masing anggota tim.
Kamu dengan kecerobohanmu,
dan dia dengan kepikunannya.
Semua kelemahan itu bisa kita tertawakan,
terbahak-bahak sampai kadang menangis karena tertawa.

Aku pernah berpikir,
ini tim terbaik yang pernah aku miliki,
dan aku sangat bersyukur memiliki kalian,
ditengah segala tekanan yang seringkali mendesak kita.

Kita selalu berbagi cerita,
dan karena sama-sama perempuan,
mudah rasanya untuk memahami perasaan satu sama lain,
untuk kemudian saling menenangkan, mendukung dan menguatkan.

Kamu begitu rendah hati,
meski terlihat santai,
kamu selalu menolong tim kita,
melewati saat-saat sulit,
terutama dengan ilmu dan pengalaman kamu,
yang dikeluarkan di saat-saat yang tepat.

Sekarang, kamu pergi,
dan ngga mau lagi aku tahan.

Bukan,
bukan karena kamu ngga berarti buat aku,
tapi aku tahu kamu udah lebih senang sekarang.

Tadi pagi ngeliat kamu senyum lebar banget dan bilang,
"Akhirnya aku ngerasa dihargain lagi deh, 
setelah sekian lama aku ngga ngerasain.."
Aku cukup bisa ngerti, betapa bahagianya kamu..

Selamat menempuh hidup baru ya..
Semoga apa yang kamu jalanin kali ini bener-bener sesuai sama hati kamu,
dan semoga kamu bener-bener bahagia sama pilihan kamu,
dari sini aku doain kok, tenang aja :)

Akhirnya hari ini datang jua dan kita tiba di ujung pertemuan.
Ini mungkin akan jadi pengalaman menyedihkan,
dimana setelah ini aku kehilangan teman terbaik,
dalam tim terbaik yang pernah aku punya.

11 September 2013

Selamat Delapan Tahun, Nyo! :)

Delapan tahun yang lalu,
Kamu datang dengan antusiasme yang mengagumkan,
dengan semangat membara,
mengejar apa yang kamu inginkan.

Kita bertemu dipersimpangan.
Kaki saya terluka,
tapi kamu ajak berlari.

Lucu,
Sungguh mudah menyukai kamu.

Kamu membalut luka, 
dan mengajak saya memulai perjalanan panjang,
tanpa tahu dimana ujungnya.

Satu hal yang kita yakini,
hati akan menuntun kita.

Kini, delapan tahun kemudian,
kita masih dalam komitmen yang sama,
tetap berjalan bersama,
dan menuju tujuan yang sama.

Bukan karena apa yang telah kita jalani sangat sempurna,
tetapi karena meskipun begitu buruknya yang kita alami,
kita selalu yakin, bisa menghadapi dan menyelesaikannya jika bersama-sama,
dengan penyertaan Tuhan tentunya.


***

Note:
Selamat delapan tahun, Nyo!
Angka sempurna yang selalu saya tunggu-tunggu.
Terima kasih untuk semua dukungan, semangat dan hal baik yang tidak ternilai,
yang kamu lakukan untuk saya.
Saya merasa sangat beruntung diizinkan mencintai dan dicintai kamu.
Terima kasih sudah menjadi anugerah terindah.. :)


23 April 2013

....

Saya hanya setitik kecil yang belagu dan sombong.
Saya pikir bisa menggenggam keabadian dengan kebanggaan.
Padahal yang abadi itu bisa hilang hanya dalam sekejap.

Saya kelimbungan,
kehilangan arah dan pegangan.

Harus apa?
Harus apa?
Saya tak dapat menjawabnya.

Menyedihkan,
hati saya ternyata sudah tak bisa lagi dipercaya.
Tampaknya ia sudah kehilangan panca inderanya.
Karena telah dibutakan dan ditulikan berkali-kali.

Terlalu banyak, memang menyakitkan.

Saya mencoba menelusuri jalan setapak,
dengan tubuh lunglai.
Sedikit demi sedikit.
Membawa saya ke arah yang berlawanan.

Kenangan itu mencengkram erat.
Membuat bulir-bulir airmata terus jatuh,
meski saya terus berkata pada diri sendiri.
"Jangan cengeng! Kamu harus kuat, sayang"

.........
...........

Tuhan, saya menyerah.

Maaf untuk segala kesombongan dan keegoisan
yang saya paksakan terus menerus.

Ajar saya untuk pasrah.
Buatlah saya kuat,
Saya ingin ikut saja kehendakMu.

08 April 2013

Ini masalah hati.

Ini masalah hati.

Ia memberanikan diri datang kesana untuk sekian kalinya.
Berharap hatinya akan baik-baik saja.

Tapi ternyata dua sanggup mengacaukan hidupnya seketika.

Pertahanannya tak cukup kuat.
Meski sudah dibangun dengan seribu kata-kata yang menguatkan
dan perasaan yang terus saja dibesar-besarkan.

Hari itu ia pasrah.
toh ketakutan memang harus dihadapi.

Mereka tidak ahli,
yang satu itu kini begitu menyakitkan,
lalu harus jadi dua.
Ia meronta dalam hati.
Kenapa harus dua?
Ingin diberhentikannya semua yang membuatnya hampir gila ini.
Tapi semua terlanjur berjalan dengan arus yang tak dapat dihentikan.

Ini masalah hati.

Lalu ia jadi benci.
Benci sebenci bencinya.
Bukan pada mereka.
Bukan pada keadaan.

Seperti biasa,
Ia benci dirinya.

Sebagian merasa terlalu lemah.
Sebagian lagi merasa terlalu arogan.
begitu memaksakan ketidakmampuan.

Ini masalah hati.

Ia buru-buru menghindari keramaian.
Tanpa peduli lagi apa yang terjadi di sekitar.
Hingga tiba ditempat yang benar-benar sendiri.

Sepi,
tangisnya pecah.
Entah menangisi kebodohan, ketegaran atau kelemahannya.
Ia pun tak mengerti.

Yang ia tahu,
dua,
dan nyeri.

Bodoh.

Perih.

Lalu kamu datang,

Kamu memang selalu mampu meredam tangis.
Menghapus luka mengganti dengan senyum.

Senyum meski pipinya masih basah dengan tangis.

Ini masalah hati.

01 April 2013

Keberanian

Keyakinannya tergerus.
Batu raksasa itu kini benar-benar nampak di matanya.
Kotor dan menjijikan.

Batu itu sudah lama ada disana..
dan banyak orang sudah memperingatkan.
Tapi dia begitu mencintai jalan di balik batu.

Sejak beberapa tahun yang lalu,
jalan di balik batu adalah tujuannya.

Ia tidak buta.
Batu yang besar itu memang ada di sana.
Tapi masih bisa dilewati, pikirnya.
Masa harus menyerah dengan rintangan yang hanya berbentuk benda mati?

Ia mulai berkompromi.
Kotoran yang menjijikan itu tak dipedulikannya.
Ia mulai berjalan perlahan dan mendorong batu untuk menjauh.
Padahal budaya keluarganya sangat resik.

Lama, batu tetap tidak bisa menjauh.

Kalau tidak menjauh,
Ia berpikir kotoran yang ada di batu setidaknya akan pudar jika tergerus jalanan.

Sayang.
Malah kotornya batu mengotori dirinya.
Kotor hingga dia sendiri jijik dengan dirinya.
Kemudian tangannya terluka.
Disusul kakinya yang membuatnya tak lagi bisa berjalan.

Ia menangis.

Tak seorangpun peduli.

Sendiri dan terluka.

Berjuang dengan segala perasaannya, impian dan cita-citanya.
Ia tak bisa lagi meneruskan perjalanannya.

Di depannya nampak batu yang semakin besar.
Seiring kata menyerah dan keputusasaan yang sudah memuncak.

Ia berbalik dengan mantap.
Meninggalkan jalan yang selama ini dipaksakannya.
Kali ini tekadnya sudah bulat.

Ia bersihkan dirinya.
Tinggalkan jalan dan batu itu.

Untuk apa memaksakan suatu jalan yang selalu membawa duka?