30 March 2015

Memaafkan dan Melupakan.

Yang terlihat tegar,
dulu hancur berkeping-keping.

Mungkin terlihat kokoh,
karena ia telah melindungi dirinya begitu rupa.
Begitu tebal.

Katanya,
Ia percaya tanpa batas.
Mengacuhkan ketidakpedulian.
Baginya tidak ada yang lebih membanggakan,
dipilih dengan kesadaran penuh.

Kata-kata itu terlontar bukan tanpa sebab, Kawan.
Dia telah lebih dulu ada disana.
Tanpa kamu tahu karena memang tak mau lagi dibahas.

Terlalu sakit.

Ia lari bertahun-tahun.

Tapi setiap kakinya menyentuh lantai,
setiap kali juga masih terasa sakit.
Udara yang dihirupnya serasa menusuk hingga ke tulang.

Sejujurnya ketakutan itu selalu ada,
tapi berusaha disembunyikan.
Untuk apa terlihat lemah, Kawan?
Lagian ia tak ingin dikalahkan nalar yang selalu membawanya tersesat.
Ia ingin percaya,
bahwa semua akan baik-baik saja.
Oleh karena itu, ia bilang akan baik-baik saja.

Detik ini,
ia tersadar.
Setiap langkah yang diambil, memberi rasa nyeri.
Luka itu masih menganga, belum disembuhkan.
Bahwa selama ini Ia berlari membawa luka.

Maka kemudian ia berhenti.
Memilih untuk memaafkan dan melupakan.

Egonya berteriak tak terima.
Tapi hati kecilnya menampar ego.

Kebahagiaan lebih penting daripada sekedar ego.

Maka,
Memaafkan dan melupakan.
Melepaskan apa yang seharusnya dilepas,
Meninggalkan beban yang seharusnya tak dibawa.

Memaafkan dan melupakan.

Hanya ketika saya berjarak.

Saya melihat diri saya mengecil.

Sangat kecil dibanding semesta.
Bergerak diantara ribuan orang.

Saya bergidik.
Ngeri membayangkan bahwa yang kecil ini,
ikut bagian dari ribuan orang yang punya kepentingan,
yang selalu bergerak berdasarkan motivasi.

Saya ingin lebih berjarak.
Tapi tiba-tiba saya jadi takut untuk terlalu jauh.

Saya belum siap untuk 'tidak bisa pulang'.

29 March 2015

Bising!

Selalu ada gadis kecil yang terjaga,
melamunkan semua mimpinya.

Naif.
Menyandarkan harapannya pada yang belum pasti.

Nalarnya selalu menjalar-jalar, mengejek,
membuat tembok raksasa yang membatasi dirinya.
Meruntuhkan kepercayaan dirinya.

Namun batinnya percaya, dan selalu percaya,
bahwa Ia akan jadi "seseorang"

Maka dalam pekatnya malam,
si gadis kecil selalu kebingungan.
Dunianya jadi terlalu bising.

Menutup telinga bahkan tak ada manfaatnya.

Biarkan realita jadi kenyataan

Saya berjalan dengan langkah gontai,
Spektrum cahaya di otak saya mendadak labil.
Semua warna jadi berantakan dan memaksa saya memberikan perhatian.
Saya luangkan waktu untuk paham sejauh mana kesesatan pikir.

Si Merah memang pemarah! Dia yang memulai. Dia memaki semangat yang saya biarkan memudar. 
Saya bereaksi. Saya bukan patah semangat, saya hanya merasa hilang arah dan sendirian. 
Lalu si Merah jadi tidak terima. Dia bilang saya harus bisa jadi dominan yang berkuasa.
Saya berontak, saya pikir hati kecil saya tidak betul-betul menginginkannya. saya tak ingin jadi yang berkuasa, saya ingin jadi yang dicintai. 

Si Jingga muncul dengan rasa penyesalan yang menyergap, ketika mengingat persahabatan yang sudah terlupakan, dan keceriaan yang mulai hilang.
Saya tak bisa berkutik.
Betapa saya juga rindu persahabatan itu, yang penah ada, namun hilang seiring berputarnya waktu.
Si Jingga pintar! Walau betapa sering saya memancarkan keceriaan, dia tahu kalau itu palsu. sial.

Si Kuning paling terang dan tenang. Tanpa banyak bicara, dia pancarkan sinarnya.
Tapi saya justru menghindar.
Dia menyinari tanpa pamrih. 
Tapi warnanya malah saya buat redup.
Saya pikir hanya perlu Kuning di waktu-waktu tertentu.
Mungkin karena terlalu baik, jadi disia-siakan.
Tinggal tunggu waktunya kualat karena komposisi spektrum cahaya jadi hancur.

Si Hijau mulai melemah diserang oleh warna lain.
Unsur keseimbangan dan ketenangan menjadi hal yang langka.
Saya mulai menitikkan air mata melihat Hijau sekarat.
"Hijau, temani saya dapatkan kewarasan. Jangan pergi," saya berbisik lirih.

Si Biru memecah dirinya bergradasi menjadi Hitam.
Saya lekas memeriksa kembali hati, dimana komitmen dan intergritas dikunci di brankas yang sulit dibuka. Masih ada disana. Tapi sangat berdebu. Saya anti debu.
Alih-alih membersihkan, saya biarkan saja mereka tergeletak tak berdaya.

Si Nila sekarang jadi pemalas semenjak Kuning diredupkan.
Dia tak lagi membimbing saya menemukan intuisi saya.
Nila kehilangan kemampuannya.

Si Ungu yang jadi merajalela. Dia intimidasi saya, hingga saya berpikir saya menginginkannya.
Banyak waktu saya habiskan untuk memanjakan Ungu.
Saya paksa kekasih saya untuk ikut Ungu.
Kemudian saya menangis ketika menyadari bahwa semua hanya ilusi. 
Ungu bukan saya.
Saya hanya ingin jadi yang sederhana.

Spektrum cahaya ini membuat saya gila.
Permasalahan mereka membuat saya hilang waras.

Walau saya telah berhasil mendefinisikan mereka.
Buat apa saya peduli?
Bahwa niat paham hanya membawa pada kehampaan lebih jauh.

Malam ini saya memutuskan untuk mengosongkan diri.

Biarkan warna-warna menemukan jalannya sendiri.

Begitu lebih baik.

Dengan begitu saya menemukan jalan kembali pada realita.

14 March 2015

Selamat!

Pada suatu siang, di satu hari yang cerah,
tanpa tahu apa sebabnya,
kamu ditarik ke pinggir jurang,
dihadapkan pada pilihan,
apakah kamu akan loncat atau mati ditembak.

Pistol itu sudah ditodongkan kepadamu,
tak ada waktu lagi.

Kamu melongok ke arah jurang,
tak terlihat dasarnya, hanya ditutupi kabut yang pekat.

Kamu pilih loncat!
Kamu pilih loncat dengan berharap bahwa masih ada asa untuk hidup.

Melambungkan badanmu dengan meloncat tinggi-tinggi sebagai persiapan memasuki jurang.
Matamu kaupaksakan terbuka,
melihat segala yang terjadi.
Karena bisa jadi ini masa yang tidak akan terulang,
Satu masa dimana kamu memilih keputusan penting.
Kamu memilih untuk sadar. Sepenuhnya.

Gravitasi mulai menyeretmu ke bawah,
jauh lebih cepat dari yang kau bayangkan.

Detik terakhir sebelum kamu berpikir bahwa hidupmu akan benar-benar habis,
tubuhmu tersangkut pada dahan pohon,
dan itu membuatmu sedikit tertahan dan tak melaju ke dasar jurang lagi.
Kamu mulai mengembangkan sayap di tangan kirimu.
Sayap yang selama ini tidak pernah kau gunakan,
karena selalu berada di zona aman.

Sayap itu tidak bisa mengembang,
Kamu berusaha lebih keras sampai frustasi.
Dan dahan itu kini patah.

Tubuhmu kembali melesat kebawah.
Tanpa arah.
Sayapmu masih tak dapat mengembang.
Pikirmu sudah tidak akan ada yang dapat menolong, tamat sudah.
Kamu menutup matamu.

BRAK!
Tiba-tiba tubuhmu tertahan oleh dahan lain.
Kamu mulai membuka mata.
Secercah sinar mentari menerobos penglihatanmu.
Masih ada yang ingin kamu selamat.

Tekad itu muncul dalam hatimu.,
Kembangkan sayap!
Dan bantu diri sendiri.

Kali ini kau coba kembangkan keduanya.
Kanan dan kiri.
Tak bisa.
Kamu berusaha lebih keras.
Menangis tidak ada gunanya.
Pikiran dan tenagamu harus dikerahkan sepenuhnya saat ini!

Kamu dipaksa!

Satu yang kamu tidak pernah tahu,
Bahwa mengembangkan sayap,
sama saja dengan mereset seluruh pemikiranmu.
Seluruhnya, selama ini.
Karena kamu terbiasa nyaman.
Karena kamu terbiasa enak.

Tidak bisa bukan sungguh tidak bisa,
Tapi tidak mau.

BRAK!
Dahan penyangga tubuhmu kini patah lagi.
Tak ada waktu untuk khawatir,
Tak ada waktu untuk berpikir panjang.

Kamu melepaskan kedua tanganmu ke samping,
Darah di seluruh tubuhmu berdesir lebih cepat.
pikiranmu terarah pada satu keinginan.
Aku ingin terbang!
Aku ingin bisa menyelamatkan diriku sendiri.

Kamu mengepalkan kedua tangan dan menutup mata,
Menguatkan hati.
Aku ingin terbang!
Aku ingin terbang!
Dan pikiran itu jadi sangat fokus,
Aku ingin terbang!
Aku ingin terbang!
Aku ingin terbang!,
melebihi rasa takutmu.

Kamu beranikan diri untuk membuka mata,
dasar jurang sudah terlihat.
Hanya dalam hitungan detik kamu akan menyentuh dasar.

Kini ketakutanmu sirna,
Dengan tangan tetap terbentang, kamu tersenyum.
Kamu ingin terbang, dan kamu sudah berusaha sekuatnya,
Jika seandainya usaha ini akan berujung kegagalan,
Kamu tidak akan pernah menyesal.

Tepat disaat kamu berpikir hidupmu akan berakhir,
Sayapmu mengembang.

Mengembang dan membawa kamu naik ke atas.
Sayap yang kuat.
Melambungkan tubuhmu ke atas.

Kamu menyusul Aku ke atas jurang.
Kamu ingin minta penjelasan untuk apa yang baru saja terjadi.
Tapi kurasa Aku tak perlu menjelaskannya panjang lebar.
Segera kuraih tanganmu,
"Selamat! Hidup dimulai ketika kamu meninggalkan zona nyamanmu!,
Selamat datang di level kehidupan yang baru."

Kini kamu kuat.
Jauh lebih kuat daripada sebelumnya.
Karena kamu berhasil mengalahkan batas yang dibuat oleh dirimu sendiri.

Selamat!

08 March 2015

Terima kasih, Yesus!


Tuhan Yesus, terima kasih 
karena telah memberkati saya,
lebih daripada yang saya patut dapatkan.

Dari setiap keberuntungan dan hal baik yang terjadi,
Saya memandang ke atas,
tersenyum dan berkata,
"Terima kasih Yesus, saya tahu kamu selalu menyertai saya, Terima kasih!" 


(Minggu Prapaskah III)