10 October 2015

Ia tak lagi konsisten.

Tulus suka membantu.
Bantuan yang tak kenal waktu,
tapi jadi sering dianggap hantu,
Karena Ia lebih percaya ratu,
yang berbicara jitu,
tapi tak bermutu.

Ketidakkonsistenan yang parah.
Membuat marah.
Ia salah kaprah.
Tak ingin membela diri, Tulus hanya ingin pasrah.
Semoga Ia kembali kepada fitrah.

Banyak yang mencaci,
Tulus harus ikut mencaci,
Tapi pembicaraan tak bermutu, itu yang paling dibenci.
Tulus pilih mengunci,
agar tak berisik seperti sendok yang dipukul ke pantat panci.
Banci.

Perjuangan tak harus digemborkan,
tak juga harus dilantangkan.
Cukup dirasakan.
Meski sifatnya membuat niat baik dibonsaikan.

Ia memang tak lagi konsisten,
maka si tulus mulai menghindar.

Peduli?

Detik-detik menyedihkan.

Dikiranya akan menjawab,
tapi malah pergi.

Nasihat seperti jadi kalimat tak bermakna,
karena tak sungguh mendengar.

Lalu untuk apa didengar?

Memang terlalu sedikit manusia yang sungguh peduli.

05 October 2015

Kematian.

Saya mengenal kata ini,
pertama kali ketika harus kehilangan Opa dengan mendadak,
di usia yang masih berusia 8 tahun.

Saya belum begitu paham, 
apa artinya kehilangan,
yang saya tahu, saya tak bisa lagi bertemu Opa.
Padahal opa selalu memangku dan mengajari saya menggambar.

Pernah sekali waktu,
saya ingat betul, 
saya pernah bangunkan opa dari tidur siangnya,
hanya untuk minta diajarkan menggambar capung.

Saya juga belum paham,
betapa sedihnya kehilangan.
Yang saya rasakan,
saya mau menangis, karena melihat ibu dan oma saya menangis.

Oma saya menangis deras di depan peti Opa,
terutama saat prosesi peti itu mau dimasukkan ke dalam tanah,
Oma meronta ingin ikut bersama jasad Opa.
Disana saya merasa sedih, sangat sedih.

Selebihnya, saya selalu melihat air mata di sudut mata Oma,
saat ia sedang duduk sendirian,
entah saat menonton TV atau merajut,
bahkan bertahun-tahun setelah kepergian Opa.

Seiring waktu,
Saya tahu kematian erat dengan kehilangan.
kata itu kemudian menjadi satu kata yang menakutkan.
Saya benci suasana duka, 
Saya benci kehilangan.

Saya menghindari ada di suasana duka,
saya menolak pelayanan apapun di bagian kedukaan,
batin saya sungguh tak suka.

Tapi tak dapat dielakkan,
Kematian memang akan selaku kita hadapi.
Seringkali saya jumpai kehilangan dari kerabat-kerabat saya.
Entah ayah atau ibunya, atau saudaranya yang pergi mendahului.

Sebenci apapun dengan suasana duka,
sebisa mungkin saya ingin hadir,
menemani sahabat saya melewati rasa kehilangan,
yang saya pikir sangat menyakitkan,
sampai membuat Oma saya menangis terus.

Hari ini beda.

Tiba-tiba ada kabar kalau sahabat saya meninggal.
Tentu saya tak percaya,
karena belum lama kita masih bertukar pesan.

Sibuk mencari tahu sana sini,
berharap semua itu hanya sebuah kekeliruan.
Tapi apa daya, ternyata kabar itu benar.

Seperti disambar petir. 

Saya disergap rasa kehilangan yang menyesakkan.

Kehilangan seorang sahabat yang peduli,
diantara sedikit teman yang benar-benar peduli.

Kehilangan seorang sahabat yang selalu benar-benar mendengarkan,
dan menenangkan saya untuk segala hal bodoh yang pernah saya takuti.

Kepergian sahabat saya jadi satu lagi pelajaran,
bahwa kita manusia,
yang tak kebal dari kematian.

Dalam hitungan detik,
saya bisa kehilangan orang yang disayang.

Saya menyesal karena tak sempat bertemu untuk terakhir kalinya.
Saya memaki diri sendiri,
yang menyia-nyiakan kesempatan untuk peduli,
untuk membahagiakan.

Padahal waktu terbatas,
dan ketika habis,
saya tak lagi punya kesempatan.

Hanya ada penyesalan yang selalu datang terlambat.