22 April 2015

Sebuah perjalanan.

Banyak kali saya terdesak di ambang batas,
nalar menjalar mulai berhalusinasi,
memecah kepala dalam dua kubu yang tarik menarik,
keringat mengucur deras saat harus memilih menyerah atau bertahan.

Perfeksionis sejati.
Kata menyerah sebenarnya tak ada dalam kamus.

Saya yakin saya mampu,
tapi saya tak yakin ini benar jalannya,
lalu saya jadi ragu.

Bahwa selalu ada konsekuensi dari setiap tindakan,
saya sangat paham.
Karena itu hidup tak bisa ditentukan hanya dengan lemparan dadu.

Pikir saya, butuh waktu lama untuk menterjemahkan isi kepala,
bisa saja salah jalan.
Lalu untuk apa sempurna?

Tapi waktu membunuh,
ketika terbuang sia-sia.

Hari terus bergulir,
dengan hati lara yang merenggut sukacita.

Setan dalam diri mulai merendahkan.
Hingga saya bagai pecundang.
Merasa tak becus dan tak cakap.

Saya berteriak dan marah,
dan semakin rumit,
karena hanya sedikit yang mengerti,
bahwa musuh saya adalah diri sendiri.

Saya meradang di sudut ruangan,
ketika akal ini membawa saya pada kebuntuan.

Lalu tiba-tiba kita terlibat diskusi.
Semua hal yang pernah saya tahu,
kamu sebutkan ulang.
kamu reka ulang semua teori yang pernah saya dengar.
Pembicaraan yang tak terarah, lalu menajam.
Beruntung. Tepat sasaran.

Bukan bentuk takut akan masa depan,
tapi untuk apa ngegas pada jalan yang salah?
itu akar masalahnya.
Lantas saya robek-robek ia,
dan bakar.

Bahwa tidak ada yang salah,
itu yang harus saya ingat.
Karena sesungguhnya saya hanya belum yakin.
Keyakinan itu memang ada di level minus.

Siapa yang tahu akan masa depan,
sehingga bisa bilang salah dan benar?

Tapi kini saya yakin.
Hal baik akan selalu jadi magnet untuk hal baik.
Maka, berusahalah yang terbaik,
dengan yang kita miliki.

Ingatlah untuk terus maju, meski harus merangkak.

0 comments: