Spektrum cahaya di otak saya mendadak labil.
Semua warna jadi berantakan dan memaksa saya memberikan perhatian.
Saya luangkan waktu untuk paham sejauh mana kesesatan pikir.
Si Merah memang pemarah! Dia yang memulai. Dia memaki semangat yang saya biarkan memudar.
Saya bereaksi. Saya bukan patah semangat, saya hanya merasa hilang arah dan sendirian.
Lalu si Merah jadi tidak terima. Dia bilang saya harus bisa jadi dominan yang berkuasa.
Saya berontak, saya pikir hati kecil saya tidak betul-betul menginginkannya. saya tak ingin jadi yang berkuasa, saya ingin jadi yang dicintai.
Si Jingga muncul dengan rasa penyesalan yang menyergap, ketika mengingat persahabatan yang sudah terlupakan, dan keceriaan yang mulai hilang.
Saya tak bisa berkutik.
Betapa saya juga rindu persahabatan itu, yang penah ada, namun hilang seiring berputarnya waktu.
Si Jingga pintar! Walau betapa sering saya memancarkan keceriaan, dia tahu kalau itu palsu. sial.
Si Kuning paling terang dan tenang. Tanpa banyak bicara, dia pancarkan sinarnya.
Tapi saya justru menghindar.
Dia menyinari tanpa pamrih.
Tapi warnanya malah saya buat redup.
Saya pikir hanya perlu Kuning di waktu-waktu tertentu.
Mungkin karena terlalu baik, jadi disia-siakan.
Tinggal tunggu waktunya kualat karena komposisi spektrum cahaya jadi hancur.
Tinggal tunggu waktunya kualat karena komposisi spektrum cahaya jadi hancur.
Si Hijau mulai melemah diserang oleh warna lain.
Unsur keseimbangan dan ketenangan menjadi hal yang langka.
Saya mulai menitikkan air mata melihat Hijau sekarat.
"Hijau, temani saya dapatkan kewarasan. Jangan pergi," saya berbisik lirih.
Si Biru memecah dirinya bergradasi menjadi Hitam.
Saya lekas memeriksa kembali hati, dimana komitmen dan intergritas dikunci di brankas yang sulit dibuka. Masih ada disana. Tapi sangat berdebu. Saya anti debu.
Alih-alih membersihkan, saya biarkan saja mereka tergeletak tak berdaya.
Si Nila sekarang jadi pemalas semenjak Kuning diredupkan.
Dia tak lagi membimbing saya menemukan intuisi saya.
Dia tak lagi membimbing saya menemukan intuisi saya.
Nila kehilangan kemampuannya.
Si Ungu yang jadi merajalela. Dia intimidasi saya, hingga saya berpikir saya menginginkannya.
Banyak waktu saya habiskan untuk memanjakan Ungu.
Saya paksa kekasih saya untuk ikut Ungu.
Kemudian saya menangis ketika menyadari bahwa semua hanya ilusi.
Ungu bukan saya.
Saya hanya ingin jadi yang sederhana.
Saya hanya ingin jadi yang sederhana.
Spektrum cahaya ini membuat saya gila.
Permasalahan mereka membuat saya hilang waras.
Walau saya telah berhasil mendefinisikan mereka.
Buat apa saya peduli?
Bahwa niat paham hanya membawa pada kehampaan lebih jauh.
Malam ini saya memutuskan untuk mengosongkan diri.
Biarkan warna-warna menemukan jalannya sendiri.
Begitu lebih baik.
Dengan begitu saya menemukan jalan kembali pada realita.
0 comments:
Post a Comment