Dear Jun,
aku akan berusaha mengartikan semuanya,
walau itu berarti mengorek luka.
Dalam waktu yang sangat singkat ini, begitu banyak hal yang telah terjadi. Dan bagaimanapun, jujur, semuanya sangat menyakitkan.
Dimulai dari keinginan untuk menghargai perasaan, tapi aku justru terjebak dalam penghargaan yang terlalu tinggi. Aku mulai sadar dan aku tidak diam saja, beberapa peringatan kulontarkan. Aku ingin menjauh, tapi aku terlemahkan oleh rasa kasihan. Aku tertahan disana dan memang pada akhirnya aku merasa nyaman. Tapi aku sungguh tidak diam saja. Aku selalu berperang, aku selalu melawannya, aku selalu mematikan rasa itu, dan aku selalu berusaha untuk menjauh. Tapi semuanya memang sulit.
Jika mau dirunut, akan ada banyak alasan yang menyebabkan aku ada disana. Banyak pemikiran yang terbentuk selama bertahun-tahun, banyak prasangka yang akhirnya tidak lagi kuutarakan karena terlalu bosan dengan jawaban yang tak masuk akal. Aku benar-benar jenuh merasa berjuang sendirian. Aku sampai pada suatu titik dimana aku tidak percaya lagi tentang dia ataupun tentang segala yang selalu diucapkannya. Oleh karena itu aku memilih untuk berjuang sendirian, meski kuakui itu sangat berat.
Segalanya jadi semakin memburuk. Realita itu diketahui sebelum waktunya dan dia menuntut jawabku. Aku tak bisa menjawab apapun. Satu-satunya yang dapat kukatakan adalah maaf, dan memang benar ada kesalahan disini. Sempat aku tak tahu lagi harus berkata dan berbuat apa, saat dia lebih juga percaya dengan apa yang dilihatnya.
Aku tau ini menyakitkan dan semua tersakiti. Tapi ini bukan sesuatu yang terjadi begitu saja, ada alasannya, semua itu ada logikanya. Aku benci mendengar semua tuduhan itu, Jun. Aku tidak seperti itu. Aku benci pada mereka yang hanya bisa menyalahkan tanpa mencoba memahami perasaanku.
Semua tidak seperti yang terlihat. Yang terpenting itu, HATI kan Jun? dan aku sungguh-sungguh telah mencoba bertahan dengan hatiku.
Ketidakpercayaan hadir disana. Menemani malam-malamnya. Emosi dan amarah menjadi satu dengan siangnya. Aku hanya ada di pinggiran hatinya. Dimana dia hanya terus mencecarku dan melancarkan tuduhan-tuduhan.
Mungkin terkesan egois, tapi aku ingin merasa dipahami. Aku ingin dia dapat melihatku tak seperti tatapan dunia dan orang-orang lain. Aku tahu benar perasaannya. Aku tahu bagaimana sulitnya berdamai dengan hati, karena aku pernah rasakan hal itu bertahun-tahun lalu. Tapi kejadian ini beda. Aku tak pernah berbohong tentang perasaanku, Jun. Dia seharusnya bisa mempercayaiku. Aku tak pernah bohong tentang perasaanku. Aku hanya belum sempat mengutarakan dan menjelaskan semuanya.
Aku bukan orang lemah, Jun, kamu pun tahu itu. Bertahun-tahun aku memperjuangkan segalanya dan ketika aku jatuh, bukan karena aku lemah, tapi lebih kepada segala dasar pemikiran yang telah kusebut itu. Hidupku selalu berawal dari sana.
Ekspektasinya sedang berada jauh dari realita. Dia kecewa dan hancur. Aku juga begitu. Ternyata lebih sakit melihatnya sakit, daripada sakit itu sendiri yang dulu pernah juga kurasakan. Kenyataan bahwa pemikiranku selama ini salah menjadi hal lain yang sangat menambah luka.
Aku berusaha untuk tidak menyalahkan siapa-siapa. Tapi memang ada beberapa hal yang kusesali. Dan sampai saat ini membuat aku sesak ketika memikirkannya. Hal itu adalah kebodohan dan ketersesatan pikiran yang belakangan baru terbongkar dan kusadari setelah adanya masalah ini. Banyak hal indah dan banyak hal yang telah dia perjuangkan namun tak kuketahui. Sifatnya yang lebih tertutup, membuat aku tak paham. Aku merasa bodoh. Mengambil asumsi dan menjalankannya sebagai sebuah kebenaran secara terus menerus. Aku benar-benar bodoh, Jun.
Untungnya, pengampunan itu masih ada. Masih ada kesempatan. Aku janji untuk tak menyia-nyiakan semua itu. Banyak hal telah kupelajari. Tentang perasaan, tentang komitmen, tentang perjuangan, tentang dunia luar. Tentang segalanya.
Dan aku pasti tidak akan mungkin mengulangi kesalahan yang sama. Karena seperti yang sudah kusebutkan, bahwa segala sesuatu yang kulakukan berdasarkan pemikiranku, dan saat ini aku sudah sadar bahwa pemikiranku salah. Aku takkan berpikir seperti itu lagi.
Aku mau menatap hari baru. Aku akan jadi kuat, jauh lebih kuat dari sebelumnya, Jun.
Aku menyesali kebodohanku. Tapi aku tak mau berdiam di tahap itu. Harus ada langkah konkret. Penyesalan itu harus jadi sesuatu yang berarti, sakitnya harus bisa dikenang agar tak lagi melakukan kesalahan yang sama.
Tapi ini bukan berarti aku juga menyesali hidup. Tidak, Jun. Aku tidak pernah dan tidak akan menyesali hidup, karena aku yakin, hidupku merupakan serangkaian pelajaran berharga yang terjadi dalam urutan yang tepat. Bila kali ini terasa menyakitkan, aku tahu ada yang indah, bahkan sangat indah dibaik itu semua. Keindahannya pun sudah mulai aku rasakan.
Segalanya memang menyakitkan, Jun, aku akui itu. Tapi diatas semua itu, aku mau tersenyum dan berkata, "Terima kasih, Tuhan untuk ini semua, aku bersyukur karena Engkau mengijinkannya hadir dalam hidupku.. Pembelajaran yang sungguh sangat berguna dan berharga" :)
Menulisnya di sini, berarti mengijinkan semuanya keluar dari kepalaku, dan membiarkan segala kenangan yang menyakitkan itu pergi. Menulisnya menjadi semacam peringatan yang akan selalu memperingatkan tentang segalanya. Menulisnya menjadi semacam acuan, dimana setelah ini akan ada perubahan ke arah yang lebih positif. Dengan menulisnya, aku menunjukkan bahwa aku telah berani menghadapi semua rasa menyakitkan dan aku akan dengan segera melupakannya.
Pada akhirnya, yang kubiarkan tinggal di hatiku hanya rasa syukur, dan tekad yang kuat untuk lebih baik lagi setiap harinya. :)
12 September 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment